Ia tinggal di desa Pante Kuyun, kecamatan Setia Bakti, kabupaten Aceh Jaya. Arnilawati Namanya. Rumahnya tak jauh dari simpang jalan. Rumah setengah panggung itu dikelilingi pohon pinang, pohon kelapa, dan pohon buah lainnya. Tapi Sebagian bangunan tersebut sudah lapuk dimakan rayap.
Ayahnya tak mampu memperbaiki rumah mereka, karena tak punya cukup uang.
“Maklum keluarga saya keluarga miskin. Ayah dan ibu hanya petani biasa,” tuturnya.
Ia anak kedua dari lima bersaudara. Kakak sulungnya bernama Arjawati, kelahiran 1975. Ia sendiri lahir dua tahun setelah Arjawati. Ada dua adik perempuan yang lahir sesudah dia. Adik bungsunya, laki-laki.
Ketika masih kecil, ia dan kakaknya bermain hanya di lingkungan rumah. Suatu hari ayah mereka memanjat pohon kelapa di belakang rumah. Begitu ayah menjatuhkan buah kelapa, Arjawati memungutnya satu per satu.
Dia lalu mengambil sebilah parang, membelah kelapa itu. Begitu dia hantamkan ke kelapa, jarinya terkena parang. Arjawati meraung.
Mendengar Arjawati berteriak kesakitan, sang ayah turun berlari menghampirinya. Ia berusaha menangkap bagian jari anaknya yang terlepas. Karena sudah terlambat, jarinya sudah tidak dapat disambung lagi.
“Akhirnya jari jempolnya sebelah kiri puntung,” kenang Arnilawati.
Di usia tujuh tahun, Arjawati diantar ke sekolah dasar. Setelah tamat ia melanjutkan belajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri di Calang sampai lulus. Pada 1987, ia tercatat sebagai santriwati di pesantren Abu Wahab, di Seulimum, Kabupaten Aceh Besar.
“Kakak mondok di pesantren selama tiga tahun lebih,” tutur Arnilawati.
Sekitar tahun 1990-an, kakaknya pulang kampung. Ia melihat Arjawati tumbuh dewasa, bertumbuh tinggi besar. Kulitnya bertambah putih, juga lebih cantik dibanding dulu. Gigi gingsul itu membuat kakaknya tampak manis Ketika tertawa.
Arjawati pun mulai mencari kerja untuk membantu orang tua mereka. Ia tak memilih-milih kerja. Tak ada rasa gengsi atau malu.
“Kakak saya pernah bekerja sebagai tukang cuci pakaian. Menyulam. Memelihara kambing. Bercocok tanam. Upah atau hasil dari jerih payahnya dia berikan kepada ibu. Sisanya dia tabung. Lama-kelamaan tabungnya bertambah besar. Saya mendengar dia berencana membangun sebuah kedai di kampung dari hasil tabungannya,” kata dia.
Cita-cita Arjawati terwujud. Kedai yang dibangunnya tak berapa jauh dari rumah. Ia mulai membuka usaha kelontong di kedai itu. Lumayan laris. Hasilnya, cukup membantu perekonomian keluarga. Biaya sekolah adik-adiknya dan kebutuhan rumah ditanggungnya. Ayah dan ibu mereka merasa beban sebagai orang tua lebih ringan berkat Arjawati.
“Keberhasilannya menjadi teladan bagi saya. saya selalu mengikuti nasehat-nasehatnya. Di mata saya, dia perempuan yang cakap. Yang patut diacungi jempol. Karena kekaguman pada sosoknya sampai sekarang nasehat-nasehatnya masih saya ingat,” ujar Arnilawati, mengingat kepribadian sang kakak.
Di saat keluarga ini tengah menikmati kesenangan hidup, tiba-tiba petaka datang. Arnilawati masih ingat, hari itu malam 17 Ramadhan, hari Jumat, 23 November 2002, sekitar pukul tiga dini hari.
Mereka sekeluarga sedang menyiapkan makan sahur. Ia dan ibunya tengah menaruh nasi dan gulai di meja. Ayahnya duduk bersila di lantai, berdekatan dengan kakaknya. Posisi Arjawati agak dekat dengan pintu.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu dapur, lalu terdengar suara pelan dan sopan. Arjawati melarang mereka membuka pintu, lalu mengatakan itu mungkin hantu.
Namun ketukan makin keras, diiringi suara-suara manusia di belakang pintu. Waktu pintu dibuka, beberapa tentara berseragam loreng lengkap dengan senjata langsung masuk ke dalam rumah. Seketika keluarga ini panik menghadapi tentara.
“Seorang tentara menodongkan senjata ke arah saya sambil menanyakan yang mana Arjawati. Saya diam saja. Kakak juga terdiam ketakutan,” kata Arnilawati.
Tentara kemudian pergi ke belakang, lalu kembali lagi ke dalam rumah. Tiga kali si tentara bolak-balik keluar masuk rumah. Kali ketiga ia masuk lagi dan langsung menunjuk wajah perempuan itu.
“Kau yang bernama Arjawati,” kata tentara itu.
Tentara langsung memegang tangan perempuan muda ini dan menyeretnya keluar rumah. Terjadi dorong-dorongan antara tentara dengan keluarga ini. Arjawati melawan sekuat tenaga, mencoba melepas genggaman tentara tersebut. Kalung emas yang melingkar di lehernya sampai putus dan jatuh di lantai dapur.
Ayah mereka sempat mengarahkan senter ke wajah tentara yang memegang tangan Arjawati, menanyakan apa salah anaknya hingga ditangkap. Tentara membalas dengan merebut senter dan memukul kepala lelaki ini sampai keningnya berdarah dan bola mata kirinya nyaris keluar. Sambil menekan bola matanya ke dalam dan menahan rasa sakit, ia meminta sang istri mengejar putri mereka yang dibawa tentara itu.
“Bersama ibu saya berjalan kaki dalam kegelapan malam mengikuti arah kakak dibawa. Kakak dibawa dengan mobil tentara ke arah Calang. Setelah empat jam berjalan kaki, saya dan ibu saya sampai di pos aparat TNI (Tentara Nasional Indonesia) di Lhok Kubu, Calang,” kisah Arnilawati.
Setiba di pos, ia dan ibunya meminta izin untuk menemui Arjawati. Seorang tentara yang sedang jaga mempersilahkan mereka masuk.
“Boleh bertemu tapi tidak boleh berlama-lama,” kata seorang tentara.
Ia dan ibunya masuk ke dalam pos. Arnilawati melihat kakaknya terduduk lesu di ruangan sempit. Mukanya kusut. Pipinya basah. Rambutnya acak-acakan. Ibu langsung merangkul dan memeluknya. Ia juga.
“Saya takut di sini, Mak. Bagaimana caranya saya bisa pulang. Mak, jangan tinggalkan saya di sini sendiri. Kawanin saya ya, Mak,” pinta sang kakak pada ibu mereka.
Sebentar kemudian, seorang tentara mengusir Arnilawati dan ibunya. Saat meninggalkan pos, ia sempat bertanya apa kesalahan kakaknya.
“Nanti kami kasih tahu. Ibu pulang saja dulu,” kata tentara.
Arnilawati mendatangi kepala desa dan melaporkan penangkapan Arjawati. Tapi kepala desa tidak bisa berbuat apa-apa.
Beberapa minggu kemudian ia kembali mendatangi pos tentara. Seorang tentara di situ mengatakan bahwa kakaknya sudah dipindahkan ke tempat lain. Tentara tersebut menganjurkan tak usah mencari sang kakak, karena akan dilepas kalau sudah selesai diperiksa.
Setibanya di rumah, ia menceritakan kata-kata tentara tadi pada kedua orang tuanya. Ibunya sangat terpukul dan terbaring sakit di tempat tidur selama tiga bulan. Tidak sanggup bangun. Tidak mau makan. Ibunya terus menangis terkenang Arjawati dan jadi pendiam sejak saat itu. Sementara keberadaan Arjawati tidak pernah lagi diketahui.
Jeda kemanusiaan terjadi di Aceh beberapa bulan setelah Arjawati ditangkap. Arnilawati menyambut gembira momen ini. Ia mengira Aceh sudah damai. Sebab orang-orang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah banyak yang turun dari gunung. Tentara dan polisi pun sudah tidak melakukan operasi ke kampung-kampung. Ia menyangka ia akan punya kesempatan untuk bertemu lagi dengan kakaknya.
“Ibu menyuruh saya menjual emas Arjawati yang jatuh pada saat dia ditangkap. Emas seberat tujuh mayam itu dijual untuk biaya transportasi saya pergi ke Meulaboh dan Banda Aceh untuk mencari Arjawati,” tuturnya.
Ia pergi ke Banda Aceh untuk melapor kejadian yang menimpa kakaknya kepada pihak Hendry Dunant Centre (HDC). Ia mendengar HDC bisa membantu mencari orang-orang yang ditangkap saat konflik. Mereka juga bisa melepaskan orang-orang yang ditangkap. Ia langung menuju Hotel Kuala Tripa, tempat perwakilan GAM dan TNI bertemu untuk membahas konflik Aceh.
“Saya bertemu dengan Kamaruzzaman. Dia seorang perwakilan dari GAM. Saya ceritakan penangkapan Arjawati. Saya minta bantuan sama Pak Kamaruzzaman untuk mencari tahu di mana Arjawati ditahan. Ada beberapa kali saya bolak-balik pergi ke kantor HDC. Kemudian Bapak Kamaruzzaman menyuruh saya datang ke PMI (Palang Merah Indonesia). Dia menyuruh melaporkan kasus Arjawati kepada PMI,” kata Arnilawati.
Belakangan, proses tersebut jadi kian berbelit-belit. Ia pun memutuskan pulang kampung.
Dua tahun sesudahnya, pada 2004, ia pergi lagi ke Banda Aceh. Kali ini ia berkunjung ke penjara Lhoknga. Sebab ia mendapat informasi bahwa banyak tahanan masa konflik dipenjara di Lhoknga.
Ia sempat bertemu Cut Nurasyikin, salah seorang tahanan politik pemerintah Indonesia. Cut Nurasyikin divonis 14 tahun penjara dengan tuduhan makar. Ia salah seorang juru runding GAM. Kelak ia meninggal di penjara saat Tsunami melanda Aceh.
“Saya tanya sama Ibu Cut. Sebelumnya saya ceritakan ciri-ciri Arjawati. Saya ceritakan kejadiannya. Ibu Cut bilang tidak ada tahanan yang bernama Arjawati. Mungkin dia tidak ditahan di sini,” tutur Arnilawati.
Ia lantas pergi ke bilik-bilik tahanan, mengamati penghuninya satu per satu. Tapi kakaknya tak ada. Ia putus asa. Berbagai cara sudah ia lakukan untuk mengetahui keberadaan kakaknya dan gagal.
Ibu dan ayahnya lantas bercerita tentang mimpi mereka. Dalam mimpi itu Arjawati pulang ke rumah dengan pakaian putih, menanyakan mengapa bunga-bunganya kering dan tidak disiram, lalu mengatakan “tidak apa-apa” karena ia sudah pulang. Mimpi itu membuat ibu dan ayahnya yakin bahwa putri sulung mereka sudah tiada.
Ketika bencana tsunami menghantam Aceh pada akhir 2004, Arnilawati baru berhenti mencari kakaknya. Ia sudah pasrah pada Yang Maha Kuasa.