“Kalau memang sudah meninggal, tinggal saya pergi ke makamnya dan menunjukkan kepada anak saya. Tapi kalau hilang , bagaimana cara saya mengatakan sama anak-anak”
Asmara
Dulu ia hidup bersama suami yang setia menemaninya dalam suka dan duka. Kini ia harus menjalani pahit manis kehidupannya tanpa teman seiring.
Biasa dipanggil “Kak Asmara” oleh orang-orang sekitarnya. Suaminya bernama Zulkifli Ilyas. Lelaki itulah yang jadi tulang punggung keluarga dan melindungi ia serta enam anak mereka, sebelum hilang pada 3 Juli 2003.
Zulkifli pernah menjabat sebagai keuchik (kepala desa). Ia disukai warga. Di sela-sela kesibukannya melayani warga waktu itu, ia tetap menyempatkan berkumpul dengan istri dan anak-anaknya yang membutuhkan perhatian.
Asmara tak menyaksikan sendiri suaminya dibawa aparat.
Saya mengetahui kejadian itu dari pak geuchik Leman Limpok. Suami saya diambil jam empat sore dan jam lima Sore pak geuchik memberitahu saya,” tuturnya.
la tak paham mengapa suaminya dibawa aparat. Ia mencoba merunut kejadian yang sudah berlalu. Seingatnya suaminya tak pernah punya masalah dengan siapa pun.
Setelah mendapat informasi dari keuchik, Asmara langsung mendatangi kantor kepolisian sektor (Polsek) terdekat dan kepolisian resor (Polres) Bireuen untuk mencari suaminya Tapi mereka tak bisa memberi penjelasan apa pun.
Asmara tak putus asa. la terus mencari suaminya. Kurang lebih lima hari setelah ia mencari suaminya kemana-mana, datang segerombolan orang dari Satuan Gabungan Intelijen (SGI) ke rumahnya.
Mereka meminta senjata yang dimiliki suaminya. Mereka menuduh suaminya terlibat Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tak ada senjata di rumah Asmara. Karena tak menemukan senjata itu, Asmara dianggap SGI bersekongkol dengan suaminya. Ia dituduh sengaja menyembunyikan senjata milik suaminya. Lebih parah lagi ia dianggap tak mau membantu alat negara.
Asmara dijebloskan ke penjara Bireuen.
Selama di penjara, ia juga tidak pernah berpisah dengan keenam anaknya. Mereka ikut dipenjara bersamanya. Penjara hanya menyediakan makanan untuk dua anak. Asmara harus menanggung kebutuhan makan ia dan empat anaknya sendiri. Abangnya berupaya membantu Asmara semampunya.
la berusaha tegar, mengingat anak-anaknya yang masih kecil. Tapi kadang ia juga tak bisa menutupi kesedihan hatinya. Ia juga tak tahu sampai kapan akan mendekam di balik jeruji besi. Saat itu konflik tengah memanas. Perang antara GAM dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) belum menunjukkan tanda akan berakhir.
“Suatu hari, saya sudah lupa kapan hari yang sangat menggembirakan itu terjadi, di mana pada saat itu Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Endang Suwarya sedang melakukan kunjungan ke penjara Bireuen untuk melihat narapidana beliau merasa iba melihat nasib saya yang bersama anak-anak masih kecil berada di dalam penjara,” tutur Asmara.
Sang panglima meminta para penjaga penjara untuk membebaskan Asmara. Perempuan ini akhirnya kembali menghirup udara segar dunia luar.
“Pembebasan saya dari penjara tanpa disertai dengan surat pembebasan, karena saya saja ditangkap tanpa ada surat penangkapan. Pemenjaraan diri saya juga tanpa lewat proses pengadilan,” tuturnya.
Setelah itu ia mencoba usaha kecil-kecilan untuk menghidupi anak anaknya. Ia berjualan nasi goreng, mi goreng, dan kopi.
Warga desa menerima kembali kehadirannya. Mereka mengenal dengan baik suaminya, tahu seperti apa ia dan anak-anaknya. Mereka tak terpengaruh dengan tuduhan-tuduhan
Yang dilancarkan aparat.
Hal terberat yang dialami Asmara adalah pertanyaan anak-anaknya tentang ayah mereka.
“Kenapa tidak pulang-pulang? Hati saya terasa tersayat-sayat. Saya berusaha menjawabnya dengan tenang, ‘ayah sedang mencari rezeki’, karena tidak mungkin saya mengatakan kepada mereka bahwa ayahnya hilang sampai sekarang tidak tahu di mana,” katanya.
Namun, perlahan-lahan ia mencoba terbuka dan jujur pada anak-anaknya. “Meminta kepada mereka untuk mendoakan keselamatan ayah mereka, kalau masih hidup, karena telah lama diculik, selama enam tahun lebih,” katanya, lagi.
Anak bungsunya yang paling sukar diberi pengertian.
“Kalau memang sudah meninggal, sangatlah gampang. Tinggal saya pergi ke makamnya dan menunjukkan kepadanya. Kalau hilang, gimana cara menunjukkan sama anak kecil yang sekarang baru duduk di kelas dua SD (sekolah dasar),” ujar Asmara.
Semua anak-anaknya masih menunggu kepulangan ayah mereka. Saat mendengar ada pemulangan tahanan politik dari penjara di luar Aceh yang tiba di Banda Aceh, anak-anaknya yang sudah bersekolah tak mau berangkat sekolah Selama dua hari mereka berkeras untuk bolos.
“Menunggu mana tahu ayahnya ada dalam rombongan tersebut dan meminta kepada saya untuk menjemput ayahnya di Banda Aceh,” lanjutnya.
Ada satu hal yang disesalinya selama di penjara. Anak-anaknya sempat tak naik kelas. Mereka juga tak berani pulang ke rumah.
Kini ia membiayai sendiri kebutuhan pendidikan mereka. Tak ada beasiswa untuk anak konflik yang diterima mereka. Tak ada bantuan apa pun yang ia terima.
Ia selalu ingat amanah suaminya.
“Sebelum musibah ini menimpa kami, dia pernah berpesan sama saya. Apapun yang terjadi sama kita, anak-anak harus tetap sekolah karena hanya itu yang akan menjadi masa depan mereka kelak,” kenang Asmara.
Asmara berharap pemerintah memberikan perhatian terhadap pendidikan anak-anak orang yang bernasib seperti dirinya. Baginya, hal itu amat penting agar ia juga bisa memenuhi amanah suaminya.
Halo, boleh minta laporan lengkapnya?
trima kasih banyak…salam sehat utk semua!
Halo mbak,
Ini cerita yang pernah dimuat dalam buku “Mereka yang dilupakan” Terbitan KontraS Aceh Tahun 2009.