ABOUT US

Lorong Ingatan, awalnya merupakan event memorialisasi yang telah dilaksanakan sejak tahun 2017 sebagai kampanye untuk menolak lupa. Memorialisasi ini dibuat secara fisik. Pengunjung dapat datang untuk melihat dari dekat. Begitu pula pada Lorong Ingatan kedua yang diselenggarakan tahun 2019. Bersama Aceh Menonton dan sejumlah dosen serta para mahasiswa, dibuat kelas-kelas diskusi kecil dan juga menonton film.

Lorong Ingatan berisi memori dalam bermacam bahasa ungkap mulai dari foto, instalasi, ornamen, lukisan, mural hingga seni suara. Pengunjung diajak kembali mendengar, melihat dan merasakan tentang apa yang pernah terjadi. Menggunakan seni sebagai alat dengan medium beragam agar dapat bercerita dan menjangkau lebih banyak. Sehingga perhatian terhadap pelanggaran HAM di masa lalu bukan hanya sebatas pengetahuan tetapi juga terlibat serta mendukung kerja-kerja menjaga perdamaian.

Maret 2020, virus Corona masuk ke Indonesia dan segera menjadi pandemi. Aceh pun tidak luput dari wabah. Itu terjadi pada diskusi-diskusi dalam proses pematangan konsep. Awalnya kami masih berfikir pandemi akan berlalu, namun hingga menjelang akhir tahun tak juga tampak tanda-tanda akan menjadi lebih baik. Akhirnya, Lorong Ingatan ketiga yang direncanakan terlaksana pada 2020 menjadi bergeser dan berubah bentuknya. 

Lorong Ingatan akhirnya menjadi Museum HAM namun virtual. Tetap menjadi bagian dari ikhtiar melawan lupa terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh.  Dengan semangat baru sebagaimana yang terlihat pada logonya. Lingkaran menggambarkan sinergi, warna merah-maroon menggambarkan semangat dan dedikasi. Sementara lima orang bergandengan berarti solidaritas untuk kemanusiaan. Kami bercita-cita suatu waktu juga akan mewujud dalam fisik yang permanen.

Museum ini adalah inisiatif awal yang akan terus berkembang seiring waktu. Masukan dan saran untuk perbaikan dan kerja-kerja kolaborasi senantiasa kami sambut baik. Museum ini lahir atas kerjasama KontraS Aceh dengan Asia Justice and Rights, dan Transitional Justice Asia Network.


CURATOR NOTE

Pameran vitual Lorong Ingatan ini hadir untuk melepas wacana yang ditahan, sebagai upaya mengingat pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu di Aceh dalam kurun waktu 1989 – 2005. Kita mungkin bangga dengan kata resistance, melawan. Sebetulnya apa yang kita lawan? Apakah betul kezaliman atau kebodohan? Barangkali kita terus berperang karena ada yang luput dari pembelajaran kita terhadap sejarah.

Pameran ini menghadirkan empat tema besar: penghilangan paksa, penyiksaan, pembantaian massal, dan pembunuhan tokoh Aceh. Keempat tema ini terdengar mengerikan. Namun faktanya itulah yang terjadi. Pertanyaannya, bagaimana menghadirkan realitas dengan tidak menimbulkan trauma, namun juga tidak menghilangkan substansi?

Kisah-kisah dalam pameran virtual ini disajikan dengan melalui beberapa medium. Seperti kisah pembantaian yang disampaikan melalui teks cerita. Untuk bagian pembunuhan tokoh Aceh dihadirkan melalui gambar bergerak. Selain itu, juga ada infografis hasil riset tentang penghilangan orang secara paksa. Cerita-cerita yang hadir diusahakan menjadi seringan mungkin dengan tidak mengabaikan substansi.

Pameran ini melibatkan, seniman, dan para generasi muda yang berminat di isu kemanusiaan. Terutama mereka yang mengikuti sikula HAM, sebuah program tahunan untuk anak muda mempelajari isu-isu kemanusiaan.  Mereka hadir dari berbagai latar belakang. Ada penyiar, jurnalis, seniman muda dan mahasiswa. Kita juga percaya kaum muda lebih paham dengan dunia mereka.

Upaya yang dilakukan dalam pameran virtual ini adalah bagian dari kerja-kerja pengetahuan untuk memunculkan rasa ingin tahu. Selain itu, ini diharapkan menjadi medium belajar, terutama terhadap wacana yang belum begitu hadir dalam ruang-ruang kelas.


en_USEN