Al alias Kalang Siki, bergegas menuju ke arah sepeda motornya. Ia mulai gundah tak karuan, karena baru saja membiarkan teman dekatnya, Adi Mungkur, pergi sendirian meninggalkan Rusep. “Mau mengunjungi istrinya yang sakit,” kata Al singkat. Niatan itu yang terakhir kali didengarnya dari mulut Adi Mungkur, sebelum mereka berpisah, Agustus 2000.
Keduanya merupakan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sehari sebelumnya, Al telah mengingatkan sahabatnya itu untuk tidak beranjak dari kawasan pertahanan mereka di seputaran Rusip dan Samarkilang, di Kecamatan Syiah Utama. Samar-samar didapatinya kabar, beberapa aparat militer bersama puluhan warga sipil yang diduga sebagai barisan milisi tengah memburu GAM.
Ia menggeber motor Yamaha L2 miliknya yang mesinnya mulai ringkih, lantaran tak sanggup mencerna bahan bakar yang digantinya dengan minyak tanah. Al tak punya pilihan, hitungan bulan, aparat memblokade akses sembako dan kebutuhan lainnya dari pusat perekonomian di Pondok Baru menuju perkampungan. Tujuannya untuk melemahkan kekuatan GAM di beberapa desa, termasuk di Mesidah. Bensin tak setetes pun tersisa di kedai-kedai eceran, konon lagi sembako. Siapa pun yang kedapatan memasok logistik, bakal dituduh membantu GAM. Warga kampung terpaksa bertahan dalam kondisi kelaparan.
Yang membuatnya makin khawatir, pagi itu baru saja sampai kabar, pasukan milisi tengah berada di kawasan Pepedang. Rombongan sipil anti-GAM itu tadinya sudah berkumpul sejak pukul 4 pagi. Ketika jumlahnya telah mencapai puluhan orang, mereka bergerak menuju Samarkilang, salah satu kawasan yang saat itu dikuasai GAM.
Pepedang merupakan salah satu ruas jalan tembus Bener Meriah – Aceh Utara, tepatnya di kawasan Kampung Kanis, Kecamatan Mesidah. Kawasan ini terbilang sepi, sepanjang jalan nyaris diapit semak-semak perbukitan dan sungai. Semasa konflik tahun 2000-an, Pepedang masih termasuk Kecamatan Syiah Utama, Aceh Tengah, sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Bener Meriah.
Di lintasan itu lah, saat itu kelompok milisi berhenti dan merazia para pelintas. Adi Mungkur tak tahu informasi itu. Nasibnya benar-benar dalam bahaya, pikir Al. Tak dapat berbuat banyak, ia terus saja memacu motornya, berupaya secepat mungkin menyusul Mungkur yang selisih jaraknya sudah hampir satu jam. Parahnya, kondisi jalan yang berkerikil itu memperlambat laju kendaraannya.
Nahas, beberapa kilometer di depan, Mungkur menyambut ajalnya. Ia dicegat gerombolan bersenjata tajam di lintasan Pepedang. Sepertinya mudah bagi mereka mengenali Mungkur sebagai GAM. Saat ditawan, Mungkur sempat melawan, namun rebah usai ditembus peluru. Dalam keadaan sekarat, beberapa pelaku menyeretnya ke pinggir jalan, masuk ke semak-semak. Ia diikat di pohon aren, lalu disiksa dengan arit hingga meregang nyawa.
“Memang sudah ajalnya, dia terjebak, lalu dihabisi dengan keji,” kenang Al.
Ia juga ingat, ketika jaraknya sudah mendekati belokan jelang lokasi pencegatan, Al berhenti, seraya mengendus keramaian dalam jarak 100 meter ke depan. Ia menepi, lalu merangsek ke sungai. Dari situ dia mulai mengerjap, mencari posisi yang tepat untuk memantau jalanan di atasnya, sambil berlindung di balik pohon rambung.
Ia hanya bisa mengintip ke atas samar-samar. Namun, suara jeritan lebih nyaring memecah senyap di lintasan itu. Al tertegun. Ia menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Gerombolan bersenjata tajam dan mengenakan sebo, mencegat siapa saja yang lewat di Pepedang. Nyaris semuanya dieksekusi, terutama mereka yang diidentifikasi sebagai warga suku Aceh dan Gayo.
Kesaksiannya, pembantaian itu berlangsung seharian hingga petang. Tak peduli siapa pun, gerombolan tersebut juga membantai perempuan bahkan anak-anak. “Saya lihat banyak sekali orang. Tak tahu lagi apakah itu aparat, milisi atau siapa. Banyak yang pakai celana loreng dan singlet, ada yang badannya bertato, tapi hampir semua pakai sebo. Yang jelas, siapa yang lewat dibunuh, jarang ada yang selamat,” kata Al.
Ia kenal beberapa korban selain Mungkur. Salah satunya Mahden, seorang pedagang kampung yang rutin bolak-balik Rusep–Pondok Baru untuk belanja kebutuhan kedainya. Di hari jahanam itu, Mahden tak selamat.
Maut juga menimpa Bintang, bocah perempuan berumur 10 tahun yang dibonceng ayahnya saat melintas di jalan itu. Dari Pondok Baru, gadis itu hendak pergi ke Rusip untuk bertemu ibunya. Namun sampai Pepedang, keduanya tewas dibunuh.
Teriakan perintah sayup terdengar. Al coba menandai gerombolan itu lewat bahasa mereka. Mudah baginya membedakan gaya bahasa yang sering dipakai tentara dengan warga biasa.
“Apalagi pada hari itu kebanyakan bercakap dengan bahasa Jawa. Itu beda sekali dengan bahasa Gayo dan bahasa Aceh. Kadang-kadang mereka keceplosan, terpanggil lah nama salah satu orang itu,” terangnya.
Hitungannya, ada 15 orang yang berpakaian loreng. Namun ia tampak yakin hanya lima orang di antaranya yang benar-benar pasukan TNI. Selebihnya, “warga dari kampung lain itu, sipil pasti,” ujar Al.
Perasaannya ngilu mengingat korban-korban yang dicegat. Ada yang sudah memohon-mohon, bahkan menyebut nama tuhan sambil meminta ampun agar tidak dibunuh. Pelaku hanya membentak, “mana sini panggil tuhanmu!”
Al tetap meringkuk, kepalanya agak pusing, korban-korban terus berjatuhan. Di hari itu, teriakan dan desing senjata tajam bersahutan. Sesaat tikungan Pepedang tak lagi senyap.
Pencegatan orang-orang mulai dihentikan saat petang. Seorang korban, Zain, masih sepupu Al, juga jadi korban, namun bisa diselamatkan. Saat ditemukan di semak-semak, Zain tengah sekarat. Mulutnya bergumam, lirih, meminta tolong. Hanya Al yang bisa menolongnya dalam situasi itu. Tampaknya para pelaku mengira Zain sudah tak bernyawa.
Tapi, siapa sangka. Dalam kondisi tubuh penuh tusukan benda tajam, takdir berkata lain. Al menemukannya lebih cepat dan segera memanggil temannya yang belakangan tiba di atas jurang. Ia segera melepas celana jeans-nya, lalu membalut tubuh Zain dan membopongnya ke atas.
“Saya angkut, pikul dia, waktu kondisi sudah aman, saya bawa ke kampung untuk diobati. Parah kondisinya. Banyak masyarakat tak jauh dari Pepedang, tapi tak ada yang berani mendekati lokasi tersebut,” kata dia.
Al terdiam beberapa saat. Ia lupa lagi alur kejadian itu persisnya. Setiap kali ditanyai detail tentang apa yang terjadi waktu itu, ia hanya bilang, “sebentar saya ingat lagi ya.”
Sepintas kemudian, bayangan itu meletup lagi di pikirannya. Al melanjutkan ceritanya.
Amatan itu masih samar-samar diingatnya lagi. Saat masih bersembunyi di semak-semak, di sebuah warung tak jauh dari persimpangan, seorang pelaku menarik meja. Ia menjemur potongan telinga manusia, jumlahnya banyak.
“Kalau saya hitung-hitung ketika itu, ada sekitar 50-an potongan telinga. Sadis sekali memang, telinga-telinga yang dikaitkan dengan benang itu diletakkan di atas meja, lalu disorong ke tengah jalan, dijemur di situ,” kata Al ngilu.
“Di sekitar warung itu saja, ada tujuh jasad yang tergeletak mengenaskan, belum lagi yang di semak-semak,” tambahnya.
Dua malam berselang, masyarakat dan petugas kesehatan baru benar-benar mendatangi tempat itu untuk mengevakuasi korban. “Baru lah berani ikut bersama-sama mengevakuasi mayat-mayat di sana, ada PMI juga,” kata dia.
Sepekan ditinggalkan gerombolan pencegat, suasana di lintasan Pepedang masih mencekam. Jasad yang tergeletak di sana terlalu banyak, terlalu sulit dihitung. Dari jalan hingga semak-semak, mayat-mayat bergelimpangan dalam kondisi yang sulit dikenali. Organ tubuh banyak yang hilang.
Tiga hari setelah kejadian, kata Al, warga yang mulai melintasi Pepedang kerap melihat anjing-anjing berkeliaran di jalanan sambil menggigit organ-organ tubuh manusia.
Trauma mengendap lama di benak keluarga korban, bahkan warga sekitar yang tahu kejadian itu. Mr, seorang yang lolos dari tragedi itu tak pernah mau menceritakan pengalamannya. Kakaknya, Mw sempat mengungkapkan, di hari kejadian, Mr dan sepupunya meminjam sepeda motor miliknya untuk pergi karena satu keperluan. Keduanya ternyata melintasi Pepedang.
Di jalanan, mereka dicegat gerombolan bersenjata tajam. Mr berhasil melarikan diri, tapi sepupunya tak selamat, sepeda motor juga lenyap. “Dia masih trauma,” kata Mw tentang adiknya itu.
Kesumat dari Cemparam
Kepada KontraS Aceh, eks pentolan gerilyawan GAM Linge, Aceh Tengah, Fauzan Azima mengurai musabab tragedi Pepedang. Sama seperti peristiwa berdarah lainnya di Gayo pada masa itu, “tragedi di Pepedang adalah aksi balasan,” ucap Fauzan.
Apa yang diucapkannya sepintas itu, menguak ihwal tragedi demi tragedi yang pecah di Gayo kala itu, semuanya tak sekadar katastrofe.
Dalam laporan Tempo, 8 Juli 2001, Profesor Baihaqi AK setidaknya menyebutkan dengan jelas. “Kancah perang telah bergeser,” kata dia menjelaskan peta konflik Aceh awal tahun 2000-an.
Dari Aceh Utara, menurutnya, GAM yang telah terdesak oleh militer TNI mulai menyisir ke kawasan tengah Aceh. Terjadi arus perpindahan yang cukup signifikan ke celah pegunungan Bukitbarisan itu.
Padahal, kawasan dataran tinggi penghasil kopi ini telah lama tak tersentuh konflik. Kendati dihuni tiga etnis dominan –Aceh, Gayo dan Jawa, kehidupan sosial di wilayah itu cukup harmonis.
Konflik bersenjata yang merembet ke Gayo, kelak mengubah banyak hal dan menjadikan kawasan paling sejuk di Aceh itu sontak mencekam. Memasuki tahun 2001, hanya dalam tempo sebulan (Juni-Juli), tercatat 148 orang tewas di Gayo, ribuan rumah dibakar dan 12 ribu warga mengungsi. Operasi militer oleh TNI menelan korban paling banyak.
Konflik di Gayo makin parah sejak konflik vertikal antara GAM dan TNI lama kelamaan berubah menjadi konflik horizontal, antar-etnis. Catatan KontraS Aceh mengenai anatomi konflik Gayo, dalam rentang waktu 2000-2005 saja, relasi antara warga etnis Aceh dan Jawa –terutama di kawasan Gayo yang meliputi Aceh Tengah dan Bener Meriah– relatif tidak harmonis, dan kian memuncak dalam banyak peristiwa di sana, seperti pembakaran di Cemparam, pembantaian Pepedang, Kresek dan lainnya.
Benturan antar etnis di Gayo sebenarnya juga tak bisa dilepaskan dari konteks konflik di kawasan pesisir timur dan barat Aceh. Pasalnya, dalam beberapa tahun usai pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM), tepatnya sejak 7 Agustus 1998 hingga paruh awal 2003, warga keturunan Jawa mulai menjadi target kekerasan, baik fisik dan psikis, yang dilakukan GAM dan simpatisannya.
Menurut Fauzan Azima, perpindahan pasukan GAM ke perbatasan Aceh Utara–Bener Meriah (saat itu masih Aceh Tengah) tak jarang menuai simpati di kalangan masyarakat, terlebih saat gerilyawan mulai bermunculan di beberapa kawasan ujung timur Gayo.
Namun antusiasme ini juga berujung petaka. Fauzan mengungkit Tragedi Cemparam, satu peristiwa tentang pembantaian 20-an warga sipil asal suku Jawa, beberapa bulan sebelum kejadian di Pepedang.
Kata dia, sekelompok pemuda yang mengatasnamakan GAM mencegat warga di Cemparam Jaya, satu kampung di Kecamatan Mesidah yang jaraknya sekitar 22 kilometer di arah timur laut Simpang Tiga Redelong, kini ibu kota Kabupaten Bener Meriah.
“Waktu itu mereka masuk ke Cemparam, membakar rumah-rumah dan mengusir penduduk mayoritas suku Jawa yang tinggal di sana,” ucap Fauzan.
Penduduk berbondong-bondong ke luar kampung untuk mengungsi. Sebagian pemuda tadi ternyata sudah menunggu di satu ruas jalan sempit, yang merupakan akses keluar Cemparam. Di situ mereka mulai mencegat warga yang melewatinya.
“Para pemuda itu mulai membunuh, laki-laki hampir semua dibantai, bahkan kalau tak salah, perempuan juga ada. Dalihnya karena warga kedapatan membawa senjata rakitan, tapi kalau pun benar, tidak mungkin kan semuanya bawa senjata, saya tidak percaya,” sahutnya lagi.
Fauzan dan sebagian besar pasukan GAM yang ketika itu masih bertahan di Samar Kilang, tak tahu siapa pelaku sebenarnya dalam tragedi itu. Sampai lah pada saat para pemuda tadi masuk ke kawasan kamp mereka, dan menyatakan ingin masuk GAM.
“Jadi setelah kejadian itu (Cemparam), baru mereka masuk ke wilayah kamp kita di perbatasan, masuk GAM. Mereka itu belum cerita apa-apa. Sampai tiga bulan kemudian, baru kita tahu mereka itu lah pelaku peristiwa di sana,” ujar Fauzan.
Pada waktunya, Tragedi Cemparam menuai kesumat di kalangan masyarakat etnis Jawa.
Sekira bulan Agustus 2000, warga sipil yang tergabung dalam barisan milisi bersama TNI hendak melakukan penyerangan ke Samarkilang dan Rusip, dua kawasan di Syiah Utama yang ketika itu berada di bawah kendali GAM. Kedua kampung ini terpaut jarak sekitar 12,2 kilometer.
Semula, Pepedang bakal dijadikan lokasi penjemputan pasukan GAM. Namun rencana penjemputan yang dibicarakan via handy talky itu, bocor ke telinga aparat.
Personel GAM, Ilyas termasuk salah seorang yang meminta untuk dijemput di kawasan itu. Ia dan rekan-rekannya terlambat menyadari, puluhan milisi dan TNI sudah berjaga-jaga di sana.
Darah pun tumpah di Pepedang. Fauzan memperkirakan empat pasukan GAM tewas di lokasi tersebut.
“Sisanya warga sipil, puluhan. Jadi masyarakat dari Cemparam, Jamur Atu, Simpur, lewat situ tidak tahu apa-apa, sementara gerombolan pelaku itu mengira warga-warga itu komplotan GAM yang ingin menjemput teman-temannya. Jadi siapa saja atas nama orang Gayo, Aceh, lewat situ pasti dibantai,” kata Fauzan.
Ia juga menyebut angka korban. Jumlahnya tak tahu pasti. Namun, dari informasi yang diterima darinya maupun saksi dari warga sipil hingga petugas kesehatan yang mengevakuasi jenazah di Pepedang, jumlah korban di situ tak pernah kurang dari 50 orang.[]