Penulis adalah penerima fellowship dari pelatihan HAM, media dan keadilan transisi yang diselenggarakan oleh AJI Banda Aceh, KontraS Aceh, LBH Banda Aceh dan AJAR.
[Indra Wijaya/AJNN]
Suara tembakan terdengar jelas dari arah gunung. Warga yang berjaga terkejut mendengar suara tembakan itu. Sutrisno bersama warga lainnya langsung berlari ke arah tembakan. Terdengar kabar, kelompok bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) baru saja menyerang desa.
“Serbu,” Sutrisno mengintruksikan para warga membalas tembakan. Malam yang semula hening berubah dalam sekejap. Cahaya dari letusan senjata api menghiasi malam di Kampung Kresek, Aceh Tengah. Kampung itu kini bernama Sedie Jadi.
Empat jam sebelum serangan terjadi, Sutrisno, yang saat itu menjabat sebagai Reje (Kepala Desa), mencoba menyadap informasi GAM menggunakan Handie Talky (HT). Mereka sengaja menggunakan HT untuk mengetahui daerah mana yang akan diserang oleh GAM. Meski kesulitan memecahkan kode milik GAM, mereka mencoba menerka-nerka desa apa yang menjadi sasaran militan itu selanjutnya.
Mereka hanya berbekal senjata rakitan yang disebut kecepek. Amunisi diolah dari korek api. Untuk mendapat amunisi asli saat itu cukup sulit. Jarak tembak senjata rakitan itu sendiri mencapai 200 meter dan bisa mematikan lawan dengan jarak 60 meter. Saat itu warga di sana bisa dikatakan cukup beruntung. Sebab salah satu warga desa Sutrisno mampu mengolah bahan-bahan bekas menjadi senjata rakitan.
“Itu beberapa bengkel yang ada di dekat desa jadi tempat pengolahan senjata rakitan,” kata Sutrisno saat ditemui AJNN, Sabtu, awal Januari lalu.
Ketika warga Sedie Jadi mempersiapkan diri untuk bertahan, beberapa desa lain yang dihuni oleh suku Jawa terjadi pembantaian. Sweeping yang dilakukan oleh para militan itu semakin masif terjadi. Paman Sutrisno salah satunya yang menjadi salah satu korban.
“Hal itu semakin memperkuat saya bahwa ada upaya mengusir suku Jawa dari Aceh,” kata Sutrisno.
Sutrisno dan warga suku Jawa lainnya telah lama menetap di Aceh Tengah. Dia dan ayahnya lahir di sana. Jikapun disuruh kembali ke Tanah Jawa, dia dan warga desa tak tahu mau lari ke mana. Saat itu ia berdalih, karena Indonesia sudah merdeka, sebagai warga negara berarti ia berhak tinggal di Aceh.
Keputusan warga sudah bulat. Musuh yang harus mereka lawan pun jelas. Senjata musuh sangat canggih. Sementara warga Kampung Kresek hanya berbekal senjata rakitan, itupun perlu waktu untuk melepas tembakan.
Rasa khawatir semakin bertambah. Aparat saat itu tak ditempatkan di desa. Padahal Sutrisno telah menemui Bupati Aceh Tengah, yang saat itu dijabat Mustafa Tami, agar aparat keamanan ditempatkan di Pondok Kresek.
Beberapa bulan sebelum kejadian, Pirin salah seorang warga, menyarankan agar dibuatkan bunker (lubang pertahanan) di salah satu sudut desa. Hal itu tak lain sebagai tempat perlindungan untuk ibu-ibu, lansia dan anak-anak.
Memasuki awal tahun 2001 keadaan semakin memanas. Dari HT Sutrisno berseliweran informasi menanyakan informasi terbaru. Sebab sudah setahun belakangan, warga tidak tidur dirumah-rumah mereka. Warga perempuan dan anak-anak berkumpul di satu tempat, sedang warga laki-laki berjaga di seputaran desa.
Malam Bedil
Malam, 5 Juli 2001. Seperti malam-malam sebelumnya, warga lelaki masih rutin berjaga. Mereka membentuk tiga pos untuk saling memberi informasi. Pos pertama terletak di pintu gerbang desa. Kedua di pos atas dan satunya terletak di ujung desa yang berada di atas ketinggian. Saat itu, informasi berkembang akan terjadi penyerangan. Mereka belum tahu pasti desa mana yang menjadi sasaran.
Dari analisa semampunya, menggunakan HT, mereka mencoba mencari informasi lokasi penyerangan GAM. Dari analisa itu, diketahui bahwa informasi penyerangan itu benar. Sasarannya Desa Sidodadi dan Pondok Gajah, bukan Sedie Jadi.
Namun hal lain dirasakan Sutrisno. Ia mencoba menganalisis informasi tersebut. Sebab di Pondok Gajah ada Koramil dengan 12 anggota TNI. Dan informasi yang berkembang pula, bahwa enam di antaranya sudah diletakkan di Sidodadi.
Sebagai orang dituakan di desa, Sutrisno berjaga di pos paling bawah lengkap dengan senjata rakitan, HT dan sepatu PDL. Di pos atas, berjaga beberapa lelaki dewasa. Jelang pukul 22.00, salah seorang dari mereka menuju ke arah semak-semak untuk buang air kecil. Tak jauh dari tempatnya, ia menoleh ke arah bukit. Sekitar 30 meter dia melihat orang mengendap-endap. Dia langsung memberitahukan teman-teman yang berjaga tentang keberadaan musuh.
Belum sempat menjawab, terdengar suara ledakan senjata. Malam semakin mencekam. Sutrisno yang berada di pos bawah langsung mengumpat, “kurang ajar anak-anak itu. Main petasan malam-malam.” Seperti dalam film Hollywood. Sutrisno langsung berteriak, “serbu!”
Rentetan demi rentetan senjata otomatis langsung diarahkan ke kelompok Sutrisno. Mereka saling balas tembakan. Namun senjata rakitan milik Sutrisno dan kawan-kawan masih kalah jauh dengan senapan serbu AK-47 milik GAM.
Karena jumlah peluru yang terbatas, tembakan yang dilepas pun harus lebih dihemat. Tembakan baru dilepas jika sasaran terlihat jelas. Sutrisno dan kawan-kawan semakin terdesak. Rekannya yang berada di pos atas memilih mundur. Perempuan, lansia dan anak-anak aman di dalam bunker. Sutrisno dan kawan-kawan terus memberikan perlawanan.
“Jumlah mereka ada banyak, tidak tahu berapa. Yang jelas banyak,” ucap Sutrisno.
Listrik padam, tapi suasana terang benderang. Baik itu cahaya dari letusan senjata maupun dari bulan bersinar sepenuh hati. Bayangan para anggota GAM jelas terlihat.
Masing-masing dari mereka berusaha menyelamatkan diri sendiri. Sebab sebelum perang, Sutrisno berpesan kepada warga agar bisa menjaga dirinya sendiri. Meski terus diserang, Sutrisno dan kawan-kawan memutuskan bertahan. Mereka hanya menghindar saja, menyelinap dari balik rumah ke rumah. Mereka tak bisa berlari. Mengendap seperti maling mencari jalan keluar. Sesekali tembakan dilepaskan.
Ketika hendak sampai ke pos atas, mereka menemukan salah seorang tergeletak akibat terkena tembakan. Namanya Edy Mulyono. Ia menghembuskan nafas terakhir saat hendak dievakuasi ke dalam bunker. Rumah pun tak luput dari sasaran. Rumah milik Sutrisno dan beberapa warga lainnya hangus terbakar.
“Waktu dibakar rumah itu, kami masih di lokasi,” ujar Sutrisno mengenang kejadian itu.
Melihat salah satu warganya tertembak, Sutrisno memutuskan untuk tidak melanjutkan ke pos atas. Namun ia menghindar ke sisi lain di ujung desa. Setibanya di sana, ia menemukan beberapa rumah hangus terbakar. Suarakan tembakan baru reda sekitar pukul 23.30 WIB. Pelaku meninggalkan desa dengan sesekali melepas tembakan ke udara.
Ia memperkirakan jumlah pelaku seratusan orang. Masing-masing memiliki tugas berbeda, ada yang memegang senjata, ada juga yang membawa minyak tanah untuk membakar rumah warga. Selepas kejadian, warga kampung mulai menyisir kampung.
Pirin 60 tahun adalah korban meninggal pertama kali ditemukan. Saat ditemukan, Sutrisno tak mengenali itu adalah sosok Pirin. Sebagian badannya hangus terbakar. Korban lain Edy Suyono. Dia terkena tembakan dan meninggal saat hendak dievakuasi ke bunker.
Zen Kaharuddin 50 tahun, ia meninggal di dalam bunker akibat serangan jantung. Kemudian Marnak, 60 tahun, meninggal dunia dan jasadnya baru ditemukan setelah warga mematikan kobaran api di salah salah satu rumah. Terakhir, Yuni Prastiana (2 tahun), menghembuskan nafas terakhir saat hendak dilarikan ke rumah sakit akibat tubuhnya tertembus timah panas.
“Kemungkinan Yuni terkena peluru saat GAM menembak membabi buta ke arah rumah. Kebetulan rumah itu bahan dasarnya kayu,” kata Sutrisno.
Malam kelam di Pondok Kresek itu memakan lima korban jiwa. 15 rumah dan balai desa ludes dilalap api. Aparat keamanan baru tiba di lokasi sekitar pukul 00.30 WIB. Aparat datang terlambat. “Karena mereka juga takut naik ke atas,” kata Sutrisno.
Perlahan Bangkit
Hampir 20 tahun pascapenyerangan di Sedie Jadi. Perlahan masyarakat di sana mulai bangkit. Saat saya bertemu Sutrisno di Desa Sedie Jadi. Ia cukup ramah. Mengenakan kopiah oranye senada dengan warna sarung yang dipakai. Desa Sedie Jadi sendiri terletak di atas pegunungan Bener Meriah dan berada di jalan Simpang KKA. Udara dingin masih menyelimuti perkampungan itu. Desa Sedie Jadi, Kecamatan Bukit merupakan salah saksi tempat terjadi perang etnis saat konflik mendera di Aceh.
Pagi itu, saat saya masuk ke desa, suasana tampak sepi. Pintu masing-masing rumah ditutup. Di kiri-kanan jajaran kebun kopi terbentang luas. Sedie Jadi sendiri dihuni sebanyak 165 kepala keluarga dengan komoditas utama yang dihasilkan di desa itu adalah kopi. Berbeda saat konflik terjadi. Desa itu hanya dihuni 70-90 KK kurang lebih.
Pembangunan di Desa Sedie Jadi mulai menggeliat. Warga beraktivitas seperti biasanya. Pagi pergi ke kebun dan baru kembali ke rumah di sore hari. Udara cukup sejuk. Warganya ramah. Mereka tak berlarut-larut dalam kenangan masalah lalu. Satu sama lain mulai berbaur. Baik itu bekas kombatan maupun warga sekitar.
Mus Mulyono, misalnya, adik kandung dari almarhum Edy Suyono, sibuk berladang. Saat ditemui, ia sedang bersiap menuju ke ladang di Desa Norah. Jaraknya sekitar 10 menit menggunakan kendaraan bermotor.
“Abang saya jadi salah satu korban,” kata Mus dengan mengenakan jaket hitam, celana jins dengan sedikit noda lumpur dan sepatu bot. Wajahnya agak runcing, tak menandakan orang asli Tanah Gayo.
Mus mengatakan saat ini ia tak lagi merasa dendam atas kematian abangnya. Di kebunnya sendiri, dia bercocok tanam bersama para mantan kombatan. Mereka saling berbaur satu sama lain. Saling tukar informasi dan pengalaman. Malahan ia bersama para kombatan bersama-sama ke kebun untuk berburu hama babi. Jika dulunya warga Sedie Jadi musuhnya GAM, saaat ini mereka memiliki musuh bersama yakni babi yang merusak ladang.
Sementara itu Ahmad keluarga dari almarhum Marnak mengatakan bahwa keluarganya melupakan kejadian itu. Ia dan keluarganya perlahan-lahan memulai hidup dengan kesibukan di kebun. Bercocok tanam kopi jadi rutinitasnya. Meski saat ini kopi sedang dalam harga yang tidak menentu, hal itu tetap ia jalankan.
“Rata-rata korban yang meninggal itu masih ada ikatan saudara semuanya,” kata Ahmad saat ditemui di depan rumahnya. Sebatang rokok dihisapnya perlahan. Asapnya mengepul di udara yang berbaur dengan dingin senja.
Untuk mengingat para korban yang gugur saat itu, Ahmad dan warga lainnya membangun tugu peringatan tepat di tengah-tengah desa, selang beberapa tahun setelah tragedi. Di sana tertulis nama-nama korban.
Hal itu mereka lakukan bukan semata-mata untuk meratapi kepergian korban. Ini adalah bukti sejarah masa konflik bahwa etnis Jawa di Aceh Tengah pernah mengalami kejadian buruk. Tugu itu juga menjadi penghormatan kepada kelima korban yang wafat. Juga pengingat kepada kaum muda agar hal yang pernah dialami mereka di masa lampau tak terulang kembali.
Hal serupa juga dikatakan Sutrisno. Ia kini sibuk bercocok tanam kopi dan tanaman muda di kebun. Setelah konflik mereda, ia pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah selama tiga periode. Ia merasa Aceh sudah damai, usai kesepakatan menghentikan konflik antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 silam. Kesepakatan ini dikenal dengan MoU Helsinki.
Sutrisno turut aktif dalam menjaga damai Aceh, meredam konflik di daerahnya. Dia rutin mengajak para kombatan wilayah Linge agar turun gunung dan menyerahkan senjata. Meski desa pernah diserang oleh GAM, ia tak pernah menyimpan dendam. Malah ia meyakinkan para kombatan itu agar turun gunung.
“Saya ajak mereka turun. Satu demi satu. Soalnya konflik banyak orang menderita,” kenangnya.
Setelah 15 tahun perjanjian Damai Aceh, Sutrisno mengatakan tak ada lagi gesekan antara mantan GAM dengan warga di kampungnya. “Semuanya sudah selesai saat damai Aceh, kami sudah menjadi kawan,” katanya
Sutrisno menyebut kejadian lama hanya sebagai pengingat tentang pahitnya konflik Aceh. Bahkan kerukunan warga dengan mantan kombatan menarik untuk dipelajari oleh berbagai pihak di dunia. “Berbagai komunitas dan negara asing berkunjung kemari untuk mempelajari suasana damai,” katanya.
Ia bersama salah seorang mantan GAM juga pernah ikut menjadi narasumber berbagi pengalaman kepada 27 warga asing dari 16 negara yang berkunjung ke sana. Para warga asing tergabung dalam Rotary Peace Center dan berpusat di Chulalongkorn University, Thailand.
Tugu perlawanan rakyat masih berdiri tegak di Kampung Kresek hingga kini. “Itu harus dirawat, semata-mata untuk mengingat dan belajar, harapannya agar konflik tak pernah lagi terulang di tanah kita,” kata Sutrisno.
Ia mengenang saat dia berkumpul dengan para mantan kombatan di salah satu acara di Aceh Tengah. Rasa was-was para kombatan terhadap dirinya masih ada. Ia mencoba menerka-nerka bahwa para kombatan itu takut kalau dirinya akan membalas dendam.
“Kalau saya namanya Aceh sudah damai. Jadi saya ikut nimbrung pas mereka kumpul. Toh Aceh sudah damai,” katanya.
Baginya, 15 tahun damai Aceh ini, hal-hal dendam masa lalu tak perlu diungkit lagi. Sebab baginya hal itu biar menjadi sejarah kepada anak cucu. Bukan berarti hal itu harus dilupakan.
Saat saya menemui beberapa korban konflik Aceh, hal serupa mereka katakan. Bahwa mereka telah memaafkan pelaku baik itu dari TNI ataupun para Kombatan GAM. Meski telah memaafkan, mereka tidak melupakan kejadian itu. Juga mereka mengatakan hal yang sama, bahwa perhatian untuk para korban konflik agar lebih ditingkatkan.
Sebab bagi mereka, yang ada dalam konflik bukan hanya Tentara dan para kombatan saja. Ada rakyat sipil disana yang menjadi korban. Peran dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) juga mereka anggap kurang terlibat. Sebab bagi mereka, ada duka dan luka yang terkenang akibat konflik yang mendera Aceh.
Sumber : ajnn.net